Menjadi Wanita Umur 23 Tahun
Sering kali gue mikir kalo waktu berjalan cepet banget, gue krasanya masih anak belasan yang apa-apa suka nyalahin orang atau nyari alasan. Tp saat gue pikir-pikir lagi, gue udah mulai menuju tua. masa dimana temen-temen seumuran gue pada sibuk kerja atau bahkan menikah. Tapi, gue masih dengan posisi yang sama, gue masik sibuk kuliah, ngajar dan organisasi. Tapi sejujurnya kuliah sering kali menjadi topik yang sensitif karena statusku yang masih tidak jelas di kampus karena dampak Covid-19. Yah, gue masih kuliah bahkan masih duduk disemester 6, disaat orang lain sibuk menata karir dan wisuda, gue masih menerka-nerka mau jadi apa dan bagaimana kelanjutan masa depan gue? Disamping itu, diumur yang sekarang ini gue makin ngerasa ada banyak tuntutan dalam hidup, baik dari gue sendiri, orang tua, dan masyarakat. Tuntutan agar cepat lulus, cepat punya pasangan, punya pekerjaan yang jelas, punya banyak prestasi dan punya banyak uang. Dan kadang gue ngerasa itu terlalu hard bagi gue yang masih baru masuk 20-an dengan semua tuntutan ini. Gue jadi mendikte diri gue telat melakukan sesuatu hanya karena umur gue yang tua dan belum lulus. Seolah tolak ukur sukses dimata masyarakat itu ketika lo udah lulus dan kerja.
Umur 23 tahun bagi gue angka yang krusial, karena banyak orang yang sudah menganggap matang umur ini. Bahkan diumur ini kaka cewe gue yang kedua udah nikah, jadi nggak aneh kalo orang-orang sering kepo dengan target lulus gue yang masih nggak jelas atau bahkan ada yang curiga gue ga laku karena ga pernah bawa pacar ke rumah. Gue ga ngerti sejujurnya parameter menjadi orang yang sesuai dimata masyarakat itu seperti apa? Apa gue harus ikutin alur masyarakat sekitar gue yang lulus trus nikah? Atau bahkan ada yang belum lulus kuliah tapi udah nikah? Atau gue harus banget punya kerjaan dan orang-orang jadi respek sama gue? Sejujurnya ini yang jadi faktor gue sering down belakangan ini.
Karena terlalu berfikir mengangan-angan gue jadi nggak menikmati prosesnya, gue jadi nggak enjoy dengan apa yang gue lakuin, gue jadi banyak memuntut diri gue dan membandingkan dengan orang lain sehingga ngerasa hidup gue selalu salah. Dampak yang gue rasain langsung adalah, gue jadi malesan ngelakukuin apa-apa karena banyak yang gue pikirin, padahal masalahnya tak sebegitu complex. Tapi, dibalik itu semua, ada orang-orang yang selalu men-support gue, nasehatin bahwa gue belum terlalu tua melakukan itu semua. Gue nggak telat, karena ga ada istilah telat dalam belajar walau harus kuliah lama, in case banyak temen-temen gue yang 6 tahun baru wisuda. Menjadi berbeda bukan hal yang salah, belum punya pacar diumur 23 tahun pun bukan berarti nggak laku. Dan satu karunia terbesar lain yang bisa menjadi harga gue adalah, udah bisa menghasilkan uang sendiri bahkan sedari semester satu, gue mulai paham gimana pahit manis dunia pendidikan dengan menjadi seorang tutor, disamping itu gue juga menjadi penerima beasiswa Bank Indonesia selama 2 tahun. Gue ga segitunya bergantung dengan dana dari orang tua karena gue udah punya uang pribadi dan mampu buat beli apa-apa dengan uang sendiri.
Gue ngga sepenuhnya menyalah diri gue sendiri, hanya saja terkadang kanan kiri gue yang sudah lebih dulu melangkah dengan hidup mereka menjadikan diri gue merasa tertinggal. Tapi, hal ini tentu ngga sepenuhnya bagus, gue emang harus bersyukur dengan apa yang gue dapet sejauh ini, hanya saja ada hal lain yang mengganjal dalam diri gue sendiri. Gue mau ngapain setelah lulus? apa perempuan ngga boleh nikah umur 26 atau 27 tahun? apa orang-orang bakal nerim kalo gue mau nikah diusis matang? Perspektif orang lain terkadang menjadi tolak ukur hidup gue, sehingga itu yang membuat gue sering menyalakan diri.
Namun sejujurnya dalam benak gue, gue masih merasa enjoy dengan diri gue yang sekarang, belum pacaran bukan berarti nggak pernah menjalin hubungan sama sekali, justru gue ngerasa karena perlu nemuin yang tepat gue menunda itu semua. Dan hal lain yang perlu gue fokusin sekarang adalah "berkarya". Yah, Gue ngerasa gue stuck dengan kuliah kerja dan organisasi sehingga lupa caranay berkarya, gue ignore dengan prestasi gue. Apapun yang gue lakuin menjadi kata-kata "jalani apa yang ada", tapi kalo gue terus-terusan mikir hal yang seperti itu. Hidup gue sampai kapanpun juga nggak bakalan pernah berubah dan hidup gue jadi megalir tanpa ada arah. Gue nggak mau mengahbiskan umur gue hanya untuk memikirkan hal-hal yang sebenernya tidak cukup relevan dimasyarakat tentang kata sukses diumur 23 tahun. Karena sukses itu complex, sukses bagi orang lain belum tentu sukses buat gue, karena lika-liku kehidupan pun jelas berbeda, sehingga gue akan berusaha stop campaign bahwa "gue telat".
Bagi gue saat ini, 23 tahun menjadi awal hidup gue menjadi lebih baik.
Komentar
Posting Komentar